Selasa, 04 Januari 2011

KEHIDUPAN ANAK JALANAN DI STASIUN PONDOK CINA

Stasiun kereta Pondok Cina adalah stasiun yang berada tidak jauh dari kampus saya. Tempat tersebut layaknya sebuah Negara kecil. Karena pasti dikehidupan seperti ini ada penguasanya, yakni orang yang mempunyai pengaruh dan menggunakan kekuatannya untuk menguasai dan menundukkan orang yang lemah termasuk anak - anak.
Apabila penumpang yang berdiri tidak terlalu banyak, muncul seorang anak kecil dengan memegang sapu lidi lalu membersihkan lantai kereta dengan mengharapkan imbalan uang recehan dari penumpang. Dari penampilan “anak sapu” tersebut terlihat kumal dengan kakinya yang tidak beralaskan kaki sehingga meninggalkan jejak warna hitam pekat di kakinya disertai bekas luka yang hampir ada di seluruh kakinya. Namun saya hanya dapat memandang dan mengharap luka tersebut bukan karena siksaan dari orang lain.
Namun tak lama kemudian kereta saya terhenti di stasiun Kota maka saya pun turun. Di stasiun tersebut saya melihat seorang anak tanpa kedua lengannya sedang bercanda dengan temannya kemudian dia berlari tertawa. Baju yang dikenakan seperti tidak pernah dicuci dalam waktu lama. Luar biasa anak tersebut meskipun dirinya dalam kondisi tersebut tapi tak mengurangi keceriaannya. Bahkan ketika hendak pulang di malam harinya saya masih melihat anak tersebut di stasiun manggarai, yang masih tetap bercanda. Lalu saya duduk di sebuah besi, rell kereta yang difungsikan menjadi tempat duduk, posisi anak tersebut ada di sebelah kanan pandangan saya lalu kemudian saya memandang lurus ke depan. Saya melihat gedung - gedung pencakar langit Jakarta dengan hiasan lampu warna - warni yang sering dinyalakan ketika malam tiba itu terlihat indah. Imajinasi nakal saya mulai membayangkan lagi bagaimana ya kehidupan anak - anak pemilik gedung tersebut atau yang bekerja di gedung tersebut. Pasti tidak terlepas dari fasilitas yang lengkap mulai dari koleksi sepatu yang banyak serta bermain menggunakan sepatu rollerbladenya. Ku memandang “anak tanpa lengan” tersebut kakinya tidak menggunakan alas.
Belum lagi risiko yang harus dihadapi oleh anak - anak yang berada di stasiun dan KRL yakni kekerasan. Saya pernah melihat seorang anak laki - laki dengan jalan yang tergopoh - gopoh serta celana yang hampir melorot, seolah - olah anak tersebut tidak menyadari ada banyak orang di sekitarnya serta pandangannyapun tidak focus. Ciri - ciri anak tersebut seperti ciri seseorang yang telah menghadapi suatu permasalahan besar hingga menghilangkan kesadarannya. Ini yang kemudian membuat saya berimajinasi lagi jangan - jangan anak tersebut jadi korban kekerasan seksual. Karena seorang pendamping anak yang berada di jalanan menceritakan kepada saya, hampir seluruh anak yang berada di jalanan menjadi korban kekerasan seksual apalagi anak perempuan setelah umur 12 tahun dia semakin rentan menjadi korban perkosaan. Bahkan ada pengakuan dari salah seorang teman yang dahulu hidup di kehidupan stasiun dan KRL pernah menjadi korban kekerasan seksual (red, sodomi) oleh “penguasa”, ya laiknya seseorang yang mirip “robot gedek”.
Ini membuat sesak napas karena memang ironis negeri ini, potret kondisi anak Indonesia dapat dilihat dari potret - potret yang ditemui dalam pandangan mata sepanjang stasiun dan KRL Jakarta- Bogor. Lalu saya mulai membuka Undang - Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, anak- anak tersebut bisa termasuk ke dalam golongan anak yang terlantar sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Angka 6 menyebutkan bahwa anak yang terlantar yakni anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Termasuk hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta dipenuhinya kebutuhan dasarnya sebagai manusia seperti tempat tinggal, pangan dan sandangnya serta pelayanan kesehatan dan pendidikannya.
Negara dalam konteks hal ini telah membiarkan (by omission) anak - anak yang berada di lingkungan stasiun dan KRL tersebut terlantar sehingga dapat disebutkan bahwa Negara adalah pelaku pelanggaran hak anak.

0 komentar: